Earth Day Vegan Festival & Forum 2018

Tribeca Park, Central Park Mall – Jakarta Barat, 23-25 Maret 2018

‘VEGAN PLANT-BASED REVOLUTION IS COMING’

 

Hampir 48 tahun yang lalu, pada tanggal 22 April 1970, jutaan orang turun ke jalan untuk memprotes dampak negatif dari 150 tahun pengembangan industri. Di AS dan di seluruh dunia, kabut asap menjadi mematikan dan bukti nyata bahwa polusi menyebabkan penundaan perkembangan pada anak-anak. Keanekaragaman hayati menurun akibat penggunaan pestisida dan polutan yang berat. Sejak sat itu, Kesadaran ekologis global semakin meningkat. HARI BUMI sekarang merupakan acara global setiap tahun, dan kami percaya bahwa lebih dari 1 miliar orang di 192 negara sekarang berperan dalam hari aksi yang paling populer di dunia.

 

Namun ironisnya, tak lama setelah terpilih dan dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, tepatnya pada tanggal 1 Juni 2017, Presiden Donald Trump secara resmi mengumumkan bahwa Amerika Serikat menarik diri dari Persetujuan Paris mengenai Perubahan Iklim (Paris Climate Agreement). Persetujuan Paris mulai berlaku pada bulan November 2016 dan bertujuan untuk mencegah Bumi memanas hingga 2 derajat Celcius sejak dimulainya era industri.

 

Dunia sudah menghangat sekitar 1,1 derajat celcius sejak Revolusi Industri. Mayoritas ilmuwan mengatakan pembakaran batu bara, minyak dan gas menyebabkan iklim bumi berubah karena gas perangkap panas.

 

Namun para Ilmuwan, Pakar, Aktivis di bidang Lingkungan, serta organisasi-organisasi vegetarian dan vegan dunia, mengeluarkan data-data yang sangat mencengangkan terkait dengan Perubahan Iklim. Industri Peternakan di seluruh dunia, merupakan Kontributor terbesar terhadap kerusakan ozon (emisi gas rumah kaca).

 

DIET VEGAN DAPAT MENYELAMATKAN DUNIA

 

Dalam laporan terbaru di tahun 2015 yang dikeluarkan oleh PBB disebutkan bahwa ‘pergeseran global menuju pola makan vegan sangat penting untuk menyelamatkan dunia dari kelaparan, menipisnya cadangan bahan bakar fosil, dan dampak terburuk dari perubahan iklim.’ Laporan tersebut mencatat bahwa preferensi Barat untuk makanan berat daging dan susu adalah “tidak berkelanjutan (un-sustainable),” terutama karena populasi manusia diperkirakan akan tumbuh menjadi 9,1 miliar pada tahun 2050, sementara luas lahan di bumi adalah statis.

 

Berikut adalah data-data dan fakta yang perlu kita ketahui, terkait dengan industri peternakan:

  • Dibutuhkan 16 kg padi-padian & palawija untuk memproduksi 1 kg daging sapi. Begitu banyak lahan yang dibutuhkan untuk pertanian, yang ironisnya hasil panennya dijadikan pakan ternak, bukan untuk makanan manusia.
  • Di satu pihak, orang-orang di negara maju mengonsumsi daging dalam jumlah berlebih dan menderita obesitas, kolesterol tinggi, diabetes dan gangguan penyakit yang berkaitan dengan ‘kelebihan makan’, sementara di pihak lain orang-orang di negara dunia ketiga, negara miskin tidak mempunyai cukup makanan untuk dikonsumsi.
  • Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 80% jagung dan 95% gandum dijadikan pakan ternak, bukan diberi makan kepada orang yang kelaparan. Jumlah padi-padian dan kacang kedelai yang dijadikan pakan ternak di Amerika Serikat dapat memberi makan 1,3 Miliar manusia.
  • Hewan ternak membuang kotoran yang banyaknya lebih dari 130 kali kotoran manusia, dimana Emisi gas Metana dari kotoran hewan ternak memberikan kontribusi secara besar-besaran terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global dengan efek 25 kali lebih kuat daripada gas karbondioksida.
  • Industri daging adalah penyebab utama (terbesar) polusi pada air yang sangat kita butuhkan. Kontaminasi air dan penyakit telah dan sedang terjadi di tempat-tempat dimana peternakan beroperasi dan terkonsentrasi.
  • Dibutuhkan air 200 kali lebih banyak untuk memproduksi 1 kg daging sapi daripada 1 kg kentang.
  • 30% lahan tanah di Amerika Serikat digunakan sebagai lahan merumput bagi hewan ternak
  • 75% lapisan atas tanah di Amerika Serikat telah hilang / rusak dikarenakan erosi, dan industri daging bertanggung jawab secara langsung sebanyak 85% terhadap kehilangan / kerusakan ini.

 

ANTIBIOTIK: ‘SESUATU’ YANG LEBIH MEMATIKAN DARIPADA KANKER

 

Kita bergantung pada antibiotik untuk melawan infeksi dan berbagai penyakit, namun sayangnya kita mungkin tidak dapat mengandalkan antibiotik seumur hidup kita. Ketika pertama kali ditemukan pada tahun 1944, antibiotik dianggap sebagai obat ajaib, digunakan untuk mengobati segala sesuatu mulai dari salmonella dan pneumonia sampai luka yang terinfeksi. Namun, industri daging telah terlalu banyak menggunakan dan menyalahgunakan antibiotik selama beberapa dekade.

 

Penyalahgunaan obat-obatan ini telah menyebabkan bakteri resisten antibiotik baru muncul, yang biasa disebut di media sebagai “SUPERBUG.” Para ilmuwan telah memperingatkan tentang tingkat keparahan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh superbug ini selama bertahun-tahun.

 

Antibiotik adalah kelas ajaib obat-obatan yang murah, sangat efektif dan mudah diproduksi. Ditunjang dengan akses yang mudah, menyebabkan penggunaan berlebihan, terutama pada hewan ternak. Karena hewan ternak pabrik tumbuh dalam kondisi sempit dan kotor, infeksi bakteri sangat umum – untuk memerangi hewan ini diberi antibiotik terus-menerus dalam makanan merekabahkan saat mereka tidak sakit.

 

Sekitar 80% antibiotik yang digunakan di Amerika Serikat diberikan pada hewan ternak pabrik, dan 50% dari semua antibiotik di Inggris dikonsumsi oleh hewan ternak pabrik.

 

Sel bakteri bereproduksi sangat cepat – memungkinkan mereka untuk beradaptasi dan berkembang dengan perlindungan baru terhadap antibiotik kita. Setiap kali bakteri bereproduksi ada berbagai mutasi (perubahan) di setiap sel yang baru dibuat. Karena paparan antibiotik tingkat rendah, terkadang mutasi tersebut menyebabkan sel mendapatkan resistensi terhadap antibiotik – yang berarti antibiotik tidak akan berguna lagi untuk melawannya.

 

Penggunaan berlebihan secara terus menerus dan penyalahgunaan antibiotik dalam hewan ternak telah menyebabkan beberapa strain bakteri menjadi resisten, dan sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa pada tahun 2050 nanti, resistensi antibiotik bisa menjadi ‘lebih mematikan daripada kanker’ – dengan lebih dari 10 juta korban setahun.

 

“Jika kita gagal bertindak, kita melihat skenario yang hampir tidak terpikirkan dimana antibiotik tidak lagi bekerja dan kita dilemparkan kembali ke masa kegelapan obat “. [David Cameron, Mantan Perdana Menteri Inggris]

 

DIET VEGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DEGENERATIF

Penyakit jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), stroke dan kanker telah menduduki tempat utama penyebab kematian di Amerika Serikat dan negara maju lainnya termasuk juga negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit kardiovaskular yang pada awal mula merupakan penyebab kematian nomor 11 yaitu sebanyak 5,1% pada tahun 1971, tetapi meningkat menjadi nomor 3 sebanyak 9,7% pada 1986. Selanjutnya pada 1995 meningkat menjadi nomor 1 (18,9%) dan 26% pada tahun 2001, terutama terjadi di kota-kota besar. Telah terjadi peningkatan jumlah penderita yang berusia muda (<45 tahun) dari 7% pada 1985 meningkat menjadi 17% pada 1989.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa timbulnya penyakit-penyakit degeneratif sangat berkaitan erat dengan pola konsumsi pangan hewani yang tinggi kolesterol dan lemak jenuh. Diet vegan merupakan salah satu alternatif yang mampu mencegah dan menyembuhkan penyakitpenyakit degeneratif (ADA, 2003; Sabate, 2003; American Journal of Clinical Nutrition, 2003).

Diet vegan juga dapat mengurangi gejala-gejala penyakit seperti arthritis, hiperkolesterolemia dan mengatasi obesitas (Rui, 2003; Lampe, 2003) dan memperpanjang umur harapan hidup (Singh et al, 2003). American Medical Association (AMA) menyatakan bahwa 90-97% penyakit jantung dapat dihindari dengan diet VEGAN. Sementara itu, 40-60% penyakit kanker dapat dihindari dengan tidak makan daging menurut American Cancer Society (ACS).

Hasil penelitian di Jepang terhadap 120.000 laki-laki berumur di atas 40 tahun menyimpulkan bahwa kelompok pemakan daging mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi menderita kanker mulut, pharynx, kerongkongan, paru-paru, dan 2 kali menderita kanker lambung, hati dan kolon daripada kelompok yang bukan pemakan daging.

Peranan serat dalam mencegah kanker kolon adalah sangat penting. Hal ini pertama kali dicatat pada tahun 1971, saat tingginya kasus kanker kolon menimpa negara negara barat yang dikaitkan dengan rendahnya asupan serat bagi tubuh. Pada 1990, penelitian di Harvard Medical School menyimpulkan bahwa konsumsi daging dan lemak hewani yang lebih tinggi meningkatkan insiden kanker kolon.

TEMPE – MAKANAN AJAIB DARI INDONESIA YANG TELAH MEN-DUNIA,

SUMBER PROTEIN NABATI, MAKANAN WAJIB BAGI KAUM VEGAN

 

Jika kita berpikir daging memberikan asupan protein terbesar, pemikiran ini salah besar. Karena justru TEMPE menyumbangkan protein yang lebih tinggi. Bahkan kandungan kalsiumnya 10 kali lebih tinggi dibanding daging.

 

Sayangnya, banyak masyarakat Indonesia hingga kini masih meremehkan tempe. Bahkan tempe masih dianggap sebagai makanan orang-orang berstatus sosial rendah/miskin atau makanan orang kampung. Padahal sejarah tempe di Kitab Serat Centhini (Jawa Kuno), menceritakan pada abad XVII tempe merupakan makanan raja-raja di istana kerajaan.

 

Ratusan penelitian telah banyak membuktikan bahwa tempe merupakan salah satu pangan bergizi dan bagian dari diet sehat. Tempe dapat digunakan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, tempe juga terbukti dapat mencegah dan mengatasi diare, serta dapat juga mengobati penyakit seperti hiperkolesterol dan hiperglikimia.

 

Di Jepang, tempe dijual di mall dan termasuk produk high class yang dikemasi sangat mewah. Soal harga, pasti mengejutkan. Di Inggris, 1 kg tempe seharga 10 poundsterling atau hampir Rp 200 ribu. Itu merupakan tempe produk lokal dan bahan baku dari Inggris. Di Amerika, tempe dijual seharga 10 dolar AS atau lebih Rp 100 ribu. Itupun rasanya tidak seenak tempe di Indonesia. Sementara di Belanda kini ada 50 pabrik tempe.

 

Kita bangsa Indonesia tentu tak rela jika ada bangsa lain yang mengklaim tempe sebagai pangan tradisional Negara-nya.

 

 

KIPRAH & PRESTASI ‘INDONESIA VEGETARIAN SOCIETY’ (IVS)

DI KANCAH INTERNASIONAL DAN REGIONAL

 

Saat ini, IVS telah memiliki lebih dari 120.000 member dan 62 cabang di berbagai kota di Indonesia. Komunitas vegetarian dan vegan di Indonesia, diyakini ada lebih dari 1.5 juta orang. Dan setiap tahun pertumbuhan komunitas vegetarian dan vegan mencapai angka 2 digit.

 

IVS diakui oleh ‘The 37 IVU World Vegetarian Congress’ tahun 2006 di India, sebagai salah satu Organisasi Vegetarian TERBESAR dan TERBAIK di dunia.

 

Berkat perjuangan dari para Pimpinan, pengurus dan volunteer IVS, kini komunitas vegetarian dan vegan di Indonesia, telah merasakan manfaat dan kemudahan di dalam menjalani keseharian mereka. Rumah makan vegetarian dan vegan, kini telah menjamur di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Tercatat ada lebih dari 1000-an rumah makan vegetarian dan vegan baik yang berskala besar (restoran) hingga ke Tenda / warung kaki lima yang tersebar di 34 provinsi Indonesia. Bahkan banyak rumah makan yang non-vegetarian / vegan, kini juga menyediakan menu khusus vegetarian. Termasuk Hotel-hotel, tempat wisata, maskapai penerbangan, rumah sakit hingga kantin sekolah, saat ini sudah cukup akomodatif bagi kaum vegetarian dan vegan.

 

Di tingkat global / internasional, IVS juga telah mendapatkan pengakuan atas sepak terjang dan gerakan yang diinisiasinya sejak berdiri hingga sekarang. Sejak tahun 2015, Sekjen IVS yang sekaligus merupakan Pendiri VSI (Vegan Society of Indonesia), DR. Drs. Susianto, MKM., terpilih menjadi President International Vegetarian Union (IVU). Sebuah jabatan yang sangat strategis dan prestisius, mengingat sejak didirikan pada tahun 1908, belum pernah ada orang Asia yang terpilih untuk jabatan tersebut. Bahkan periode jabatan yang seharusnya berakhir di 2017, diperpanjang kembali.

 

REVOLUSI VEGAN BERBASIS NABATI TELAH DATANG!

 

IVS (Indonesia Vegetarian Society) berdiri sejak 8 Agustus 1998, dan secara konsisten fokus di dalam gerakan edukasi dan sosialisasi Pola Hidup Sehat dan Ramah Lingkungan dengan berbasis Nabati. Selama hampir 2 dekade, IVS melalui berbagai Seminar, Bazaar, Festival, penerbitan Buku, kegiatan charity, hingga Forum-forum ilmiah, berusaha membagikan pengetahuan dan pemahaman yang benar serta mengajak semua komponen masyarakat untuk ikut berpartisipasi di dalam sebuah Gerakan, sebuah Revolusi yang tidak dapat dibendung lagi. Ya, itulah ‘Revolusi Vegan Berbasis Nabati’.

 

Bak bola salju, Trend Vegetarian dan Vegan semakin hari semakin membesar. Di tingkat Global, ada Gerakan ‘Meat Free Monday’ (Senin Tanpa Daging), ‘Green Monday’, ‘Green Eating’, ‘Clean Eating’, dan lain-lain, yang semuanya itu menandakan kebangkitan dan hadirnya ‘Revolusi Vegan berbasis Nabati’.

 

Eric Schmidt, Executive Chairman perusahaan induk Google – Alphabet, memprediksi sebuah revolusi berbasis nabati telah datang. “Mengganti daging dengan nabati akan mengurangi emisi gas rumah kaca dan melawan perubahan iklim”, katanya. Dia menamai tren ‘game-changing’ nomor satu di masa depan sebagai konsumsi protein nabati dan bukan daging. Penggantian daging dengan protein nabati juga akan menurunkan biaya makanan di negara-negara berkembang dimana makanan daging terkadang langka. Menghasilkan satu pon daging (0.5 kg) ke toko bahan makanan, melewati proses penggembalaan, penyembelihan, dan pengiriman adalah proses yang sangat tidak efisien dan mahal dibandingkan dengan memberi satu pon protein berbasis nabati. Singkatnya, populasi kita yang terus bertambah dapat diberi makan lebih efisien dan lebih murah dengan menggunakan protein nabati.

 

 

GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT (GERMAS)

 

Pemerintah dan masyarakat perlu menggalakkan ‘Pola Makan Sehat’ berbasis nabati (VEGAN) terutama di daerah perkotaan dengan mengonsumsi lebih banyak sayur dan buah yang harganya lebih murah daripada daging.

Kita semua patut mengapresiasi perhatian dan upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia (melaui Kementerian Kesehatan), melalui GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT (GERMAS), dengan tujuan untuk mencegah dan menanggulangi penyakit degeneratif (Penyakit Tidak Menular – PTM) yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

 

Sejak akhir tahun 2017, Indonesia Vegetarian Society (IVS), telah menjalin kerjasama (MOU) dengan Kementerian Kesehatan RI, ikut serta dan menjadi salah satu motor penggerak GERMAS melalui kegiatan-kegiatan IVS (Seminar & Forum, Festival & Bazzar, Gathering, Demo Masak, dll) di berbagai daerah di Indonesia.

 

 

“Kami percaya bahwa situasi sudah sangat genting dan mendesak.

Kita semua sebagai bagian dari peradaban manusia dan sebagai anggota planet bumi,

harus melakukan sesuatu untuk kelangsungan hidup kita dan lingkungan di Bumi.

Setiap dari kita bertanggung jawab untuk menciptakan dunia yang lebih baik,

dan mewariskan bumi yang lebih hijau kepada generasi mendatang”

 

 

Mari datang dan bergabung bersama kami, di dalam ‘Earth Day Vegan Festival & Forum 2018’,

pada tanggal 23-25 Maret 2018, di Tribeca Park – Central Park Mall, Jakarta Barat’.

 

Jakarta, 23 Maret 2018

Salam Vegan

 

DR. Drs. Susianto, 

President International Vegetarian Union

Founder & General Secretary

President Vegan Society of Indonesia

 

Karim Taslim                                                                                                                              

Head of Media Relation & Communication 

(IVU)

‘Vegan Festival Indonesia 2018’

WVO

[Contact No. +62 812 1551 7676]

(VSI)

 

Roeddy Zeng

Head of Public & Government Relations

‘Vegan Festival Indonesia 2018’

[Contact No. +62 811 179 804]